RSS

Senin, 20 Desember 2010

mengapa pakai "Ana, Antum dan Syukron?

“Ana”, bukan nama orang, artinya adalah “saya” atau “aku”. Kata sapaan dalam bahasa Arab ini banyak digunakan di kalangan pesantren atau aktivis Islam. Sementara orang Betawi menyebutnya “ane”, sebuah sapaan yang halus daripada “gue”. Biasanya digunakan untuk memberikan penghormatan kepada teman bicara atau kepada orang yang lebih dihormati atau lebih tua.

Nah, soal “ana” ini, salah seorang kawan saya, seorang Muslimah berjilbab yang aktivis Rohani Islam, (Rohis) sewaktu SMA kerap membahasakan diri sebagai “ana”.

“Ada Nurul tidak?” tanya saya kepada rekan sekelasnya. Saat itu saya hendak mengembalikan buku Fisika kepada kawan saya itu.

Anehnya, rekan sekelasnya itu tampak kebingungan. “Nurul? Yang mana?”

“Nurul Fadhliyah, yang pakai jilbab,” saya merinci deskripsi sang kawan. Sang kawan memang satu-satunya yang berjilbab di kelasnya. Kami berbeda kelas di jurusan A1 (Fisika).

Baru jelas rupanya. “O, si Ana! Itu ada di kelas.”

Rupanya nama “Ana” lebih populer daripada nama aslinya. Sampai sekarang sang kawan masih dipanggil “Ana”. Atau, sebagian cukup berkompromi, “Nurul Ana”.

Nah, nasib “antum” tak jauh beda. FYI, “antum” adalah sapaan halus untuk “kamu” atau “Anda”. Orang Betawi memakai “ente”, dari kata “anta” yakni orang kedua tunggal. Di kali lain, digunakan juga “aye”.

“Antum” sebetulnya untuk orang kedua jamak (lebih dari dua orang). Tapi sering digunakan untuk sapaan halus dan akrab. Sama seperti kebiasaan orang Indonesia menyebut “kami” sebagai pengganti “saya” — meskipun sang penyebut hanya satu orang — agar terdengar lebih sopan atau halus.

Sewaktu ramai kasus penangkapan tersangka teroris Muhammad Jibril, ada wawancara live via telepon di petang hari antara presenter sebuah TV swasta dan si tersangka pascapengumuman polisi bahwa Muhammad Jibril masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) Polri.

Sepanjang wawancara, sang presenter ber-”antum” ria dengan M. Jibriel, seakan mereka kawan lama dalam pergerakan Islam. Barangkali maksudnya agar lebih akrab dan ada chemistry dengan yang diwawancarai — yang memang banyak menggunakan istilah-istilah khos seperti antum, harokah atau ikhwan.

“Gimana perasaan antum?” dsb…Demikianlah wawancara tersebut berlangsung.

Hingga, saat menutup wawancara, si presenter pun mengatakan,”Terima kasih antum.”

Ah, serasa “antum” itu nama orang saja…

Sementara di sebuah milis, seorang kawan berbagi cerita mengenai pengalaman rekannya yang menerima sms tentang sebuah kabar demonstrasi.

Di ujung sms, si pengirim berterima kasih dengan ucapan “syukron”.

“Syukron” sendiri adalah ucapan terima kasih yang umum. Bentuk yang lebih halus — karena berisi doa — adalah “jazakallah” (ditujukan kepada lelaki) atau “jazakillah” (ditujukan kepada perempuan) atau “jazakumullah” (ditujukan kepada banyak orang) yang artinya “semoga Allah yang membalas (kebaikanmu)..” Lebih lengkapnya, jazakallah khoirol jaza’, semoga Allah membalas (kebaikanmu) dengan sebaik-baiknya balasan, atau cukup jazakallah khoir.

Back to laptop, si wartawati yang tertarik pada kabar itu ingin menindaklanjutinya. Ia pun menelpon nomor si pengirim dan membuka percakapan dengan, “Pak Syukron, saya dari….

Kesimpulannya, Kanjeng Nabi Muhammad benar 100 persen ketika berpesan,”Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa kaumnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentarnya yaa... jgn lupa... :)