RSS

Selasa, 28 September 2010

METODE PENGAJARAN RASULULLAH KEPADA PARA SAHABAT

1. Memperhatikan Situasi dan Kondisi

Rasulullah berbicara kepada orang lain sesuai dengan kadar intelektual mereka. Suatu pembicaraan yang tidak dapat dipersepsi oleh akal pendengar, terkadang justru menjadikan fitnah. Sehingga yang terjadi tidaklah seperti yang dikehendaki . Rasulullah benar-benar berbicara kepada mereka yang hadir dengan bahasa yang dapat mereka tangkap pengertiannya. Sehingga seorang arab pedalaman dengan kekerasan karakternya mampu memahami. Demikian juga dengan lingkungan arab kota lebih dapat memahaminya. Disamping itu juga beliau memperhatikan daya tangkap, kecerdasan dan kemapuan alami maupun hasil latihan mereka dalam berpikir. Kepada orang yang cerdas beliau cukup memberikan isyarat. Misalnya adalah riwayat berikut:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang warga Fazarah menghadap ke Rasulullah, ia berkata, ‘Sesungguhnya istriku melahirkan anak yang berkulit hitam, dan aku tidak mengakuinya.’ Lalu Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mempunyai unta?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bertanya, ‘Apa warna kulitnya?’ Ia menjawab, ‘Kemerahan.’ Rasulullah bertanya, ‘apakah diantara unta itu ada yang berwarna ke-abu-abuan?’ Ia menjawab, ‘Ada’. Rasulullah bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’, Ia menjawab, ‘Mungkin dipengaruhi oleh faktor keturunan.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Nah, anakmu itu juga dipengaruhi oleh keturunan (gen)’.”[1]

Satu-satunya sarana untuk mendudukan orang itu agar mengakui anak yang di-ingkarinya adalah menganalogikan dengan peristiwa yang sering terjadi dilingkungannya, baik berkenaan dengan kehidupan sehari-hari maupun kondisi lingkungan.

Disamping ditujukan kepada akal, pembicaraan beliau juga ditujukan kepada rasa dan nurani. Pembicaraan Rasulullah mampu mengerakan perasaaan dan bahkan menggetarkannya. Beliau dapat menangani berbagai macam persoalan dengan bijak dan hati-hati. Sebagai contoh riwayat berikut:

Dari Abu Umamah Al Bahily, bahwa ada pemuda Quraisy menghadap kepada Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkan aku berbuat zina?” Kemudian para sahabat berdatangan untuk mencegahnya, namun beliau bersabda, “Biarkan saja.” Dan Beliau bersabda, “Mendekatlah.” Pemuda itu mendekat kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, “Apakah engkau senang bila hal ini terjadi kepada Ibumu?” Ia menjawab, “Tidak demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau juga bersabda, “Orang-orang juga tidak senang bila hal itu terjadi kepada Ibu mereka.” Beliau bertanya, apakah engkau senang bila hal ini terjadi kepada putrimu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Semoga Allah menjadikanku tebusanmu. Beliau juga bersabda, “Orang-orang juga tidak senang bila hal ini terjadi kepada putri mereka.” Begitulah seterusnya hingga pertanyaan kepada saudarinya, ibunya baik pihak ayah dan pihak ibunya. Setiap pertanyaan Rasulullah dijawab oleh pemuda Quraisy itu, “Tidak, Demi Allah.” Kemudian Nabi meletakan tangan beliau ke dadanya, seraya berdo’a, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya dan peliharalah kemaluannya.”[2]

2. Memudahkan dan Tidak Memberatkan

Untuk meyebarkan dan menyampaikan Islam, Rasulullah menempuh jalan tegas, tetapi memilih yang termudah dan terlonggar dalam mengajarkan hukum-hukum agama kepada para sahabatnya. Berikut adalah dalil-dalil dari as Sunnah.

“Mengajarlah kalian. Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan bila salah seorang di antara kalian marah, maka hendaklah diam.”[3]

“Permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang lari.”[4]

Karena semua inilah Rasulullah menganjurkan para sahabat untuk mendalami persoalan-persoalan agama mereka, memerintahkan kepada mereka untuk menanyakan apa saja yang tidak mereka ketahui serta melarang mereka memberikan fatwa tanpa ilmu.

Salah satu contoh sifat toleran Rasulullah adalah sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang arab badui/pedalaman masuk masjid, kemudian shalat dua rakaat, lalu ia berdo’a, ‘Ya Allah, rahmatillah aku dan Muhammad dan jangan engkau rahmati bersama kami seorang pun.’ Lalu Rasulullah menoleh dan berkata, ‘Kamu hendak menutup sesuatu yang lapang.’ Selang beberapa lama, orang itu kencing di dalam masjid, orang-orang lalu menghampirinya (untuk mencegah). Namun Rasulullah bersabda kepada mereka, ‘Sesungguhnya kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan dan tidak diutus sebagai orang-orang yang meyulitkan. Siramkan seember air pada bekas kencingnya itu’.”[5]

Itulah sifat Rasulullah yang selalu lembut dalam menghadapi segala masalah pada masanya, beliau tidak menghujat ataupun mencaci hal-hal yang sifatnya sepele. Sunnguh telah ada Suri tauladan yang baik dalam diri Rasulullah.

3. Pengajaran Kepada kaum Wanita

Di samping pengajaran kepada kaum pria, Rasulullah juga memperhatikan pengajaran kepada kaum wanita. Suatu ketika beberapa orang wanita datang kepada Rasulullah, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak dapat mengikuti majelismu yang terdiri dari kaum pria, karena itu kami menjanjikan satu hari yang kami gunakan untuk datang kepadamu.” Beliau bersabda, “Tempat yang aku janjikan untuk kalian adalah di rumah Fulan.” Pada hari yang ditentukan dan ditempat yang dijanjikan itu beliau hadir dan memberikan pengajaan kepada mereka.[6]

Di dalam pengajaran Rasulullah itulah para wanita melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai hukum yang berkaitan dengan wanita dan Rasulullah memberikan fatwa kepada mereka. Dari Aisyah, ia berkata, “Wanita terbaik adalah wanita Anshar, mereka tidak terhalang dari rasa malu untuk mendalami agama.[7]

Demikianlah sedikit ringkasan tentang bagaimana metode pengajaran Rasulullah kepada para sahabatnya, semoga bisa dijadikan pelajaran yang berharga.
[1] Sahih Muslim, hal 1137 dari dua Hadits, hadits 18 dan 20, Juz II

[2] Majma Az Zawa’id hal 129, Juz I

[3] Musnad Imam Ahmad, hal 12, hadist 2136 dan hal 191 hadist 2556 Juz II

[4] Sahih Bukhori bi Hasiyah as sandy, hal 24 Juz I

[5] Bagian kedua dari hadist tersebut yakni peritiwa kencingnya seoran arab badui, disebutkan oleh Al Bukhari dari Ans dan Abu Hurairah, Lih; Fathul Bariy hal 335 dan 336 Juz I, sedang kisah do’anya itu ditempat lain dan ditakhrij oleh Imam Ahmad dengan sanad sahih pada hal 244, hadist 7254 Juz XII dan hal 209 hadist 7786, Juz I

[6] Musnad Ahmad, hal 85 hadist 7351, Juz XIII dan Fathul Bariy hal 206, Juz I

[7] Fathul Bariy, hal 239, Juz I

Senin, 27 September 2010

Minggu, 26 September 2010

sedih dan kawatir

Kesedihan dan kekhawatiran terhadap sesuatu sering singgah dalam hati setiap manusia.

Khawatir tentang masa depan, sedih karena dilanda kesulitan, cemas akan keselamatan, takut tidak dapat jodoh dan sebagainya.
Orang yang memiliki hati yang lemah, maka akan terus dihantui perasaan cemas, khawatir, dan ketakutan menghadapi sesuatu yang belum terjadi.

Namun, jika kita menyadari bahwa hidup ini kita tidak sendiri, ada Allah yang selalu menyertai setiap langkah hamba-Nya, maka segala sesuatu tak perlu dicemaskan.
Kita harus yakin, bahwa Allah selalu bersama kita.

Kasih sayang Allah dan ayat-ayat mulia dalam Kitab-Nya bukanlah sesuatu yang patut diragukan.
Dengan bersandar sepenuhnya hanya kepada Allah maka setiap kesedihan akan sirna.
Allah Maha Memperhatikan, senantiasa mengulurkan pertolongan, dan mengganti penderitaan dengan kebahagiaan.

“Laa tahzan innallaha ma’anaa, Jangan Bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. at-Taubah: 40)”


Wallohu A'lam Bissowab....